KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke
Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada
saya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul : “Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi
dan Lumbung Energi Nasional”.
Saya
menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan
Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam
kesempatan ini saya menghaturkan rasa
hormat dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Saya
menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
baik materi maupun penulisannya, namun demikian saya telah berupaya dengan
segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan
baik dan oleh karenanya, saya dengan
rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan, saran dan usul guna
penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya saya penulis berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
, 13 Oktober 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Untuk
mewujudkan pembangunan yang berkeadilan dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi
terus digalakan oleh pemerintah, pemerintah membuat Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia dilaksanakan untuk mempercepat dan
memperkuat pembangunan ekonomi sesuai dengan keunggulan dan potensi strategis
wilayah dalam enam koridor, 6 Koridor Ekonomi (KE) Indonesia, yaitu KE
Sumatera, KE Jawa, KE Kalimantan, KE Sulawesi, KE Bali–Nusa Tenggara, dan KE
Papua–Kepulauan Maluku Diharapkan 6 Koridor Ini Akan Mampu Mendongkrak Ekonomi
Indonesia di jangka waktu yang sudah di tentukan khusunya dalam bidang
infrastruktur dan transportasi Indonesia yang pertumbuhannya berjalan lambat
dan kurang merata sehingga pemerintah mendukung dengan menganggarkan APBN untuk
infrastruktur dan transportasi lebih besar dibandingkan dengan sektor yang
lain. Pemerintah memprioritaskan 40 proyek infrastruktur MP3EI yang akan
di groundbreaking pada tahun 2014-2017, dengan total investasi
sebesar Rp. 337 triliun. Ke-40 proyek itu terdiri dari 15 proyek dengan
total investasi sebesar Rp. 36,2 triliun yang akan di groundbreaking pada
tahun 2014, dan sebanyak 25 proyek dengan total investasi sebesar Rp. 300,8
triliun maksimal akan di groundbreaking pada tahun 2017 dan
sampai pada akhir tahun 2013 ini pemerintah menganggarkan melalui kementrian
pekerjaan umum sebesar Rp. 50.35 triliun. Maka dari itu kita perlu tahu
pengertian MP3EI secara spesifik agar kita mengerti dan tahu peran kita sebagai
masyarakat dalam mendukung proyek pemerintah tersebut.
1.2 Pengertian MP3EI
Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau
yang dalam Bahasa Inggrisnya adalah Masterplan for Acceleration and
Expansion of Indonesia’s Economic Development dengan singkatan MP3EI adalah
sebuah pola induk perencanaan ambisius dari pemerintah Indonesia untuk dapat
mempercepat realisasi perluasan pembangunan ekonomi dan pemerataan kemakmuran
agar dapat dinikmati secara merata di kalangan masyarakat.
Percepatan dan
perluasan pembangunan ekonomi ini akan didukung berdasarkan potensi demografi
dan kekayaan sumber daya alam, dan dengan keuntungan geografis masing-masing
daerah. MP3EI merupakan proyek “mercusuar” pemerintah. Lewat program ini,
pemerintah tak hanya ingin menciptakan konektivitas antar wilayah,
tapi juga memacu pertumbuhan ekonomi yang merata dan berkelanjutan.
Proyek-proyek MP3EI juga diharapkan menyedot banyak
investasi dan menyerap tenaga kerja sehingga kemiskinan dan
pengangguran di Indonesia dapat teratasi sedikit-demi sedikit seiring dengan
pertumbuhan ekonomi Indonesia yang merangkak naik melalui program ini.
BAB II
ISI
2.1 Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan
Lumbung Energi Nasional
Koridor
Ekonomi Sumatera mempunyai tema Sentra
Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional. Secara
geostrategis, Sumatera diharapkan menjadi “Gerbang ekonomi nasional ke Pasar
Eropa, Afrika, Asia Selatan, Asia Timur, serta Australia”.
Secara
umum, Koridor Ekonomi Sumatera berkembang dengan baik di bidang ekonomi dan
sosial dengan kegiatan ekonomi utama seperti perkebunan kelapa sawit, karet
serta batubara. Namun demikian, Koridor Ekonomi Sumatera juga memiliki beberapa
hal yang harus dibenahi, antara lain:
• Adanya perbedaan pendapatan yang signifikan
di dalam koridor, baik antar perkotaan dan perdesaan ataupun antar
provinsi-provinsi yang ada di dalam koridor;
• Pertumbuhan kegiatan ekonomi utama minyak dan
gas bumi (share 20 persen dari PDRB koridor) yang sangat rendah dengan cadangan
yang semakin menipis;
• Investasi yang menurun dalam beberapa tahun
terakhir;
• Infrastruktur dasar yang kurang memadai untuk
pengembangan industri, antara lain jalan yang sempit dan rusak, rel kereta api
yang sudah rusak dan tua, pelabuhan laut yang kurang efisien serta kurangnya
tenaga listrik yang dapat mendukung industri.
Di dalam
strategi pembangunan ekonominya, Koridor Ekonomi Sumatera berfokus pada enam
kegiatan ekonomi utama, yaitu Kelapa Sawit, Karet, Batubara, Perkapalan dan
Besi Baja yang memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi mesin
pertumbuhan ekonomi koridor ini, serta pengembangan Kawasan Strategis Nasional Selat
Sunda. Kegiatan ekonomi utama pengolahan besi baja yang terkonsentrasi di
Banten juga diharapkan menjadi salah satu lokomotif pertumbuhan koridor ini,
terutama setelah adanya upaya pembangunan Jembatan Selat Sunda.
a. Kelapa Sawit
Kegiatan
ekonomi utama kelapa sawit di Sumatera memegang peranan penting bagi suplai
kelapa sawit di Indonesia dan dunia. Indonesia adalah produsen minyak kelapa
sawit terbesar di dunia sejak 2007, menyusul Malaysia yang sebelumnya adalah
produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia.
Kelapa
sawit adalah sumber minyak nabati terbesar yang dibutuhkan oleh banyak industri
di dunia. Di samping itu, permintaan kelapa sawit dunia terus mengalami
pertumbuhan sebesar 5 persen per tahun. Pemenuhan permintaan kelapa sawit dunia
didominasi oleh produksi Indonesia. Indonesia memproduksi sekitar 43 persen
dari total produksi minyak mentah sawit (Crude Palm Oil/CPO) di dunia.
Pertumbuhan produksi kelapa sawit di Indonesia yang sebesar 7,8 persen per
tahun juga lebih baik dibanding Malaysia yang sebesar 4,2 persen per tahun.
Di Sumatera,
kegiatan ekonomi utama Kelapa Sawit memberikan kontribusi ekonomi yang besar,
dimana 70 persen lahan penghasil kelapa sawit di Indonesia berada di Sumatera.
Kegiatan ini juga membuka lapangan pekerjaan yang luas. Sekitar 42 persen lahan
kelapa sawit dimiliki oleh petani kecil.
Kegiatan
ekonomi utama kelapa sawit dapat dilihat melalui rantai nilai yaitu dari mulai
perkebunan, penggilingan, penyulingan, dan pengolahan kelapa sawit di industri
hilir. Kegiatan tersebut terlihat pada gambar berikut.
Perkebunan: Di tahun 2009, Sumatera memiliki sekitar lima
juta hektar perkebunan kelapa sawit, di mana 75 persen merupakan perkebunan
yang sudah dewasa, sedangkan sisanya merupakan perkebunan yang masih muda.
Namun demikian, di luar pertumbuhan alami dari kelapa sawit ini, peluang
peningkatan produksi sawit melalui peningkatan luas perkebunan kelapa sawit
akan sangat terbatas karena masalah lingkungan.
Di
samping peningkatan area penanaman, hal lain yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan pertumbuhan produksi kelapa sawit adalah dengan meningkatkan
produktivitas CPO dari perkebunan. Indonesia saat ini memiliki produktivitas
3,8 Ton/Ha, yang masih jauh di bawah produktivitas Malaysia 4,6 Ton/Ha dan
masih sangat jauh dibandingkan dengan potensi produktivitas yang dapat
dihasilkan (7 Ton/Ha).
Rendahnya
produktivitas yang terjadi pada pengusaha kecil kelapa sawit disebabkan oleh
tiga hal:
•
Penggunaan bibit berkualitas rendah. Riset menunjukkan bahwa penggunaan bibit
kualitas tinggi dapat meningkatkan hasil sampai 47 persen dari keadaan saat
ini;
• Penggunaan pupuk yang sedikit karena mahalnya
harga pupuk;
•
Waktu antar Tandan Buah Segar (TBS) ke penggilingan yang lama (di atas 48 jam)
membuat menurunnya produktivitas CPO yang dihasilkan.
Penggilingan:
Hal yang perlu diperbaiki dari rantai nilai ini adalah akses yang kurang
memadai dari perkebunan kelapa sawit ke tempat penggilingan. Kurang memadainya
akses ini menjadikan biaya transportasi yang tinggi, waktu tempuh yang lama,
dan produktivitas yang rendah. Pembangunan akses ke area penggilingan ini
merupakan salah satu hal utama untuk peningkatan produksi minyak kelapa sawit.
Selain itu, kurangnya kapasitas pelabuhan laut disertai tidak adanya fasilitas
tangki penimbunan mengakibatkan waktu tunggu yang lama dan berakibat pada biaya
transportasi yang tinggi.
Penyulingan: Penyulingan akan mengubah CPO dari
penggilingan menjadi produk akhir. Pada tahun 2008, Indonesia diestimasikan
memiliki kapasitas penyulingan sebesar 18-22 juta ton CPO. Kapasitas ini
mencukupi untuk mengolah seluruh CPO yang diproduksi.
Dengan
berlebihnya kapasitas yang ada saat ini (50 persen utilisasi), rantai nilai
penyulingan mempunyai margin yang rendah (USD 10/ton) jika dibandingkan dengan
rantai nilai perkebunan (sekitar USD 350/ton). Hal ini yang membuat kurang
menariknya pembangunan rantai nilai ini bagi investor.
Hilir
kelapa sawit: Industri hilir utama dalam mata rantai industri kelapa sawit
antara lain oleo kimia, dan biodiesel. Seperti halnya rantai nilai penyulingan,
bagian hilir kelapa sawit ini juga mempunyai kapasitas yang kurang memadai. Hal
ini membuat rendahnya margin dari rantai nilai tersebut. Namun demikian,
pengembangan industri hilir sangat dibutuhkan untuk mempertahankan posisi strategis
sebagai penghasil hulu sampai hilir, sehingga dapat menjual produk yang
bernilai tambah tinggi dengan harga bersaing.
Meskipun
bagian hilir dari rantai nilai kegiatan ekonomi utama ini kurang menarik karena margin yang rendah,
bagian hilir tetap menjadi penting dan perlu menjadi perhatian karena dapat
menyerap banyak produk hulu yang ber-margin tinggi, seperti misalnya dengan
diversifikasi produk hilir kelapa sawit.
Regulasi dan Kebijakan
Untuk melaksanakan strategi pengembangan kelapa sawit tersebut, ada beberapa
hal terkait regulasi yang harus dilakukan, antara lain:
• Peningkatan kepastian tata ruang untuk
pengembangan kegiatan hulu kelapa sawit (perkebunan dan penggilingan/pabrik
kelapa sawit (PKS));
• Perbaikan regulasi, insentif, serta disinsentif
untuk pengembangan pasar hilir industri kelapa sawit.
Konektivitas
(infrastruktur) Pengembangan kegiatan ekonomi
utama kelapa sawit juga memerlukan dukungan infrastruktur yang meliputi:
• Peningkatan kualitas jalan (lebar jalan dan
kekuatan tekanan jalan) sepanjang perkebunan menuju penggilingan kelapa sawit
dan kemudian ke kawasan industri maupun pelabuhan yang perlu disesuaikan dengan
beban lalu lintas angkutan barang. Tingkat produktivitas CPO sangat bergantung
pada waktu tempuh dari perkebunan ke penggilingan, sebab kualitas TBS (Fresh
Fruit Brunch-FFB) akan menurun dalam 48 jam setelah pemetikan;
• Peningkatan kapasitas dan kualitas rel kereta
api di beberapa lokasi untuk mengangkut
CPO
dari penggilingan sampai ke pelabuhan;
• Peningkatan kapasitas dan kualitas pelayanan
pelabuhan untuk mengangkut produksi CPO. Saat ini terjadi kepadatan di
pelabuhan sehingga menyebabkan waktu tunggu yang lama (3 - 4 hari).
SDM dan IPTEK
Selain kebutuhan perbaikan regulasi dan dukungan infrastruktur, pengembangan
kegiatan ekonomi utama kelapa sawit juga perlu dukungan terkait pengembangan
SDM dan IPTEK, yaitu:
• Peningkatan riset untuk memproduksi bibit
sawit kualitas unggul dalam rangka peningkatan produktivitas kelapa sawit;
•
Penyediaan bantuan keuangan, pendidikan dan pelatihan, terutama untuk pengusaha
kecil;
• Pembentukan pusat penelitian dan pengendalian
sistem pengelolaan sawit nasional.
b. Ka r e t
Indonesia
merupakan negara kedua penghasil karet alami di dunia (sekitar 28 persen dari
produksi karet dunia di tahun 2010), sedikit di belakang Thailand (sekitar 30
persen). Di masa depan, permintaan akan karet alami dan karet sintetik masih
cukup signifikan, karena didorong oleh pertumbuhan industri otomotif yang
tentunya memerlukan ban yang berbahan baku karet sintetik dan karet alami.
Harga karet sintetik yang terbuat dari minyak bumi akan sangat berfluktuasi
terhadap perubahan harga minyak dunia. Demikian pula dengan harga karet alami
yang akan tergantung pada harga minyak dunia oleh karena karet alami dan karet
sintetik adalah barang yang saling melengkapi (complementary goods). Terlebih
dengan penggunaan minyak bumi sebagai sumber energi untuk pengolahan kedua
jenis karet tersebut, maka tentunya harga karet alami dan karet sintetik sangat
tergantung dengan kondisi harga minyak dunia.
Dengan
semakin meningkatnya industri otomotif di kawasan Asia, dan kawasan lain di
dunia diharapkan hal ini juga meningkatkan permintaan akan karet alami. Dalam
produksi karet mentah dari perkebunan, Sumatera adalah produsen terbesar di
Indonesia dan masih memiliki peluang peningkatan produktivitas. Koridor Ekonomi
Sumatera menghasilkan sekitar 65 persen dari produksi karet nasional.
Kegiatan
ekonomi utama karet dibagi menjadi tiga yaitu dimulai dari perkebunan, proses
pengolahan, dan pemanfaatan karet dengan nilai tambah melalui industri hilir
karet. Kegiatan rantai nilai karet dapat dilihat pada gambar berikut :
Perkebunan:
Karet alam berasal dari tanaman Hevea brasiliensis yang ditanam di wilayah tropis
dan sub-tropis dengan curah hujan sedang sampai tinggi. Sebagian besar produksi
karet dihasilkan oleh pengusaha kecil (sekitar 80 persen dari total produksi
nasional). Perusahaan swasta dan pemerintah masing-masing menghasilkan produksi
sekitar 10 persen dari total produksi nasional. Sebagian besar produsen yang
merupakan pengusaha kecil rata-rata memiliki lahan yang kecil dan masih menggunakan cara berkebun secara tradisional.
Hal ini menyebabkan
rendahnya produktivitas kebun yang diolah oleh pengusaha kecil. Seperti yang
terlihat pada gambar, bahwa perkebunan milik pengusaha kecil memiliki
produktivitas 30 persen lebih rendah dari perkebunan swasta besar/BUMN. Hal ini
mempunyai dampak pada profitabilitas dari rantai nilai perkebunan secara
keseluruhan.
Indonesia
memiliki produktivitas karet yang lebih rendah yaitu sekitar 50 persen dari
produktivitas karet India.
Bahkan
jika kita membandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia
memiliki produktivitas lebih rendah sekitar 30-40 persen dibandingkan Thailand,
Vietnam, atau Malaysia. Di samping itu,
peran pengusaha kecil di negara-negara lain lebih besar daripada Indonesia.
Produktivitas
perkebunan karet yang rendah di Indonesia disebabkan oleh kualitas bibit yang
rendah, pemanfaatan lahan perkebunan yang tidak optimal, dan pemeliharaan
tanaman yang buruk. Kualitas bibit yang rendah menjadi masalah utama untuk
perkebunan di Koridor Ekonomi Sumatera, ditunjukkan dengan rentang produktif
tanaman karet yang kurang dari 30 tahun. Maka perbaikan utama yang dapat
dilakukan adalah penanaman kembali dengan bibit unggul berproduktivitas lebih
tinggi. Di samping itu, pada saat penanaman kembali dilakukan pengaturan jarak
tanam yang optimal. Biasanya para petani atau pengusaha perkebunan perlu
menunggu selama 6 - 7 tahun hingga tanaman bisa berproduksi. Namun kini
perkebunan
besar
sudah menggunakan bibit unggul yang siap produksi setelah berusia 3,5 tahun. Di
samping itu, untuk petani rakyat, pada 2 tahun pertama dapat dilakukan tumpang
sari dengan tanaman pangan sehingga dapat menambah pendapatannya. Diharapkan
hal ini dapat meningkatkan daya tarik untuk berinvestasi di perkebunan karet.
Pengolahan:
Perkebunan besar (14 persen dari total luas kebun karet di Indonesia) mengolah
(menggumpalkan, membersihkan dan mengeringkan) getah dan bekuan menjadi karet
olahan (kering), serta lateks menjadi lateks pekat.
Rantai
nilai pengolahan merupakan bagian yang penting untuk kegiatan ekonomi utama
karet ini. Masalah di rantai nilai ini adalah adanya pihak-pihak perantara yang
mengumpulkan hasil-hasil dari pengusaha kecil perkebunan karet. Adanya
perantara ini membuat harga yang diterima petani karet menjadi rendah. Di
Indonesia, petani karet hanya mendapatkan sekitar 50 - 60 persen dari harga
jual keseluruhan, sedangkan di Thailand dan Malaysia mencapai sekitar 90
persen. Sebagai kompensasinya, pengusaha kecil berusaha meningkatkan keuntungan
dengan mencampurkannya karet murni dengan bahan lain untuk meningkatkan beratnya
meskipun hal ini akan menurunkan kualitas karet olahan tersebut. Disamping itu,
pembenahan proses pengumpulan karet yang tersebar di Koridor Ekonomi Sumatera,
juga harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas karet
sehingga akan meningkatkan daya tarik investasi dalam rantai industri hilir
karet.
Industri
Hilir: Saat ini, hanya 15 persen dari produksi hulu dikonsumsi oleh industri
hilir di Indonesia dan sisanya 85 persen dari karet alami merupakan komoditi
ekspor. Karet alam dan karet sintetik digunakan sebagai bahan baku ban dengan
tingkat kandungan karetnya antara 40-60 persen, dan ditambah berbagai bahan lain. Hasil industri hilir karet antara
lain sol sepatu, vulkanisir ban, barang karet untuk industri. Sedangkan lateks
pekat dapat dijadikan sebagai bahan baku sarung tangan, kondom, benang karet,
balon, busa bantal dan kasur, dan lain-lain.
Penggunaan
karet alami di Indonesia didominasi oleh industri ban dengan 61 persen dari
penggunaan karet di industri hilir dan sisanya dipakai oleh industri sarung
tangan dan sepatu. Hal ini selaras dengan penggunaan karet alami di industri
hilir dunia. Potensi industri ban masih sangat signifikan, hal ini ditunjukan
dengan ekspor ban yang tumbuh rata-rata 22
persen setiap tahunnya dan cukupnya suplai bahan mentah, sehingga
industri ban Indonesia mempunyai keuntungan kompetitif.
Regulasi
dan Kebijakan Berdasarkan berbagai analisis di atas, terdapat fokus utama
terkait regulasi dan kebijakan dalam
pengembangan kegiatan ekonomi utama karet, yaitu:
• Melakukan peninjauan kebijakan pemerintah
tentang jenis bahan olah dan produk yang tidak boleh diekspor (selama ini
diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 1 Tahun 2007);
• Meningkatkan efisiensi rantai nilai
pengolahan dan pemasaran dengan melaksanakan secara efektif Undang-undang No.
18 Tahun 2008 tentang Perkebunan dan aturan pelaksanaannya (Peraturan Menteri
Pertanian No. 38 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengolahan dan Pemasaran Bahan Olah
Karet dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 53 Tahun 2009 tentang Pengawasan
Mutu Bahan Olah Komoditi Ekspor Standar Indonesian Rubber yang Diperdagangkan);
• Meningkatkan produktivitas hulu (perkebunan)
perkebunan karet rakyat dengan melakukan penanaman kembali peremajaan tanaman
karet rakyat secara besar-besaran dan bertahap serta terprogram, penyediaan
bantuan subsidi bunga kredit bank,
penyediaan kualitas bibit yang unggul disertai pemberian insentif yang
mendukung penanaman kembali, penyuluhan budidaya dan teknologi pasca panen karet
(penyadapan, penggunaan mengkok sadap, pisau sadap, pelindung hujan, bahan
penggumpal dan wadah penggumpalan) yang memadai; serta bantuan Badan Pertanahan
Nasional (BPN) melakukan pendataan kepemilikan lahan dan pemberian sertifikat
lahan.
• Menyusun strategi hilirisasi industri karet
dengan memperhatikan incentive-disincentive, Domestic Market Obligation (DMO),
jenis industri dan ketersediaan bahan baku dan bahan bantu/penolong yang dapat memperkuat daya saing industri
hilir karet;
• Menyediakan kemudahan bagi investor untuk
melakukan investasi di sektor industri hilir karet dengan penyediaan informasi
disertai proses dan prosedur investasi yang jelas dan terukur.
Konektivitas
(infrastruktur) Untuk dapat mendukung strategi umum pengembangan karet
tersebut,
ada beberapa infrastruktur dasar yang harus dibenahi, yaitu:
• Pengembangan kapasitas pelabuhan untuk
mendukung industri karet, baik hulu maupun hilir dengan membuat waktu tunggu di
pelabuhan yang lebih efisien. Hasil produksi karet membutuhkan pelabuhan
sebagai pintu gerbang ekspor maupun konsumsi dalam negeri;
• Penambahan kapasitas listrik yang saat ini
masih dirasakan kurang memadai untuk mendukung industri karet di Sumatera;
• Pengembangan jaringan logistik darat antara
lokasi perkebunan, sentra pengolahan dan akses ke pelabuhan.
SDM dan IPTEK
Pengembangan kegiatan ekonomi utama karet memerlukan dukungan kebijakan terkait
SDM dan IPTEK pengembangan yang antara lain:
• Membentuk badan karet yang dapat berguna
sebagai pusat riset dan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas produk
bahan olah karet sehingga terjadi efisiensi pengolahan karet selanjutnya dari
para pedagang dan perantara;
• Peningkatan SDM melalui pendidikan terkait
penelitian pengembangan karet.
c. Batubara
Secara
umum, batubara merupakan kegiatan ekonomi utama yang sangat menarik di
Indonesia karena kuatnya permintaan dari Asia Pasifik serta permintaan dalam
negeri yang bertumbuh pesat.
Indonesia
merupakan negara yang kaya akan batubara dan pengekspor batubara termal
terbesar di dunia (sekitar 26 persen dari ekspor dunia) disusul oleh Australia
dengan 19 persen dari ekspor dunia. Dari total cadangan sumber daya batubara
(104,8 miliar ton) di Indonesia, sebesar 52,4 miliar ton berada di Sumatera,
dan sekitar 90 persen dari cadangan di Sumatera tersebut berada di Sumatera
Selatan. Dengan produksi batubara sekitar 200 juta ton/tahun, Indonesia
memiliki cadangan batubara untuk jangka waktu panjang.
Meskipun
Sumatera memiliki cadangan batubara yang sangat besar, namun produksi batubara
di Sumatera masih sangat rendah yaitu sekitar 20 juta ton per tahun atau
sekitar 10 persen dari total produksi batubara di Indonesia. Hal ini disebabkan
salah satunya oleh karena dari sepuluh perusahaan produsen batubara terbesar di
Indonesia, hanya satu perusahaan yang mempunyai lahan olahan yang besar di
Sumatera.
Namun
demikian, kegiatan ekonomi utama batubara di Koridor Ekonomi Sumatera ini
memiliki beberapa tantangan yang membuat produksi di Koridor Ekonomi Sumatera
rendah:
1. Sebagian besar pertambangan batubara berada
di tengah pulau, jauh dari pelabuhan laut dan garis pantai. Hal ini membuat
transportasi ke pelabuhan menjadi tidak efisien mengingat kondisi infrastruktur
transportasi darat saat ini yang tidak cukup baik. Sehingga hal ini
mengakibatkan biaya transportasi untuk tambang-tambang di tengah pulau semakin
tinggi;
2. Rata-rata cadangan batubara di Sumatera
memiliki kualitas yang lebih rendah (Calorie Value-CV rendah) dibandingkan
dengan batubara Kalimantan. Jumlah cadangan batubara CV rendah di Sumatera
mencapai 47 persen, sementara di Kalimantan hanya memiliki 5 persen;
3. Infrastruktur dasar pendukung pertambangan
batubara di Koridor Ekonomi Sumatera masih kurang memadai. Jaringan rel kereta
api pengangkut batubara di Sumatera sangat terbatas. Transportasi jalan raya
yang digunakan angkutan batubara menjadi mudah rusak sehingga akan mempersulit
angkutan batubara. Selain itu, kapasitas pelabuhan yang terbatas juga menjadi
bottleneck untuk pengembangan industri batubara;
4. Disamping itu, sulitnya akuisisi lahan,
rendahnya kualitas sumber daya manusia, serta kebijakan pemerintah yang kurang
jelas mengenai penggunaan batubara juga merupakan tantangan yang harus
dihadapi.
Regulasi dan Kebijakan
Untuk menjamin pengembangan produksi batubara lebih optimal,
diperlukan
dukungan regulasi ataupun kebijakan, seperti:
• Pengaturan kebijakan batubara sebagai bahan
bakar utama untuk tenaga listrik di Sumatera. Diestimasi sekitar 52 persen
bahan bakar untuk pembangkit listrik di Sumatera akan menggunakan batubara pada
tahun 2020. Hal ini akan membuat ketertarikan para investor untuk melakukan
kegiatan penambangan batubara;
• Peningkatan utilisasi dari batubara. Batubara
yang digali di Sumatera sebaiknya tidak langsung diekspor sebagai komoditas
mentah, tetapi diolah menjadi produk bernilai tambah lebih tinggi, seperti
konversi listrik (PLTU mulut tambang), upgraded coal, atau produk petrokimia.
PLTU mulut tambang patut dipertimbangkan karena lebih efisien dan tidak ada
biaya pengangkutan;
• Penerbitan regulasi mengenai kebijakan yang
lebih operasional dalam pemanfaatan batubara CV rendah untuk pengadaan listrik
nasional dan jika dimungkinkan dilakukan penerapan metoda penunjukan langsung
bagi perusahaan batubara yang mampu memasok batubara untuk PLTU mulut tambang
selama minimal 30 tahun dan berminat memanfaatkannya untuk pembangkit tenaga
listrik;
• Percepatan penetapan Harga Batubara Acuan
(HBA) untuk dapat menentukan Harga Patokan Batubara (HPB) secara berkala sesuai
lokasi dan nilai kalorinya;
• Standardisasi metoda pengukuran dan pelaporan
besaran produksi (hasil tambang), alokasi ekspor dan DMO untuk penambangan
batubara yang mendapatkan Izin Usaha Penambangan (IUP) dari Kementerian
ESDM
maupun pemerintah daerah;
• Penguatan regulasi dan kebijakan pertanahan
untuk menyelesaikan persoalan kompensasi tanah;
• Penertiban penambangan ilegal tanpa izin
(PETI -Illegal Mining).
Konektivitas
(infrastruktur) Terkait dengan konektivitas
(infrastruktur), maka ada beberapa strategi utama yang diperlukan yaitu:
• Penambangan batubara di wilayah Sumatera
Selatan bagian tengah memerlukan infrastruktur rel kereta api yang dapat
digunakan untuk mengangkut batubara, mengingat pengangkutan batubara CV rendah
dengan menggunakan transportasi jalan tidak ekonomis. Dengan menggunakan kereta
api, biaya transportasi akan menurun sampai dengan tingkat yang menguntungkan
untuk penambangan batubara
CV
rendah tersebut;
• Pembangunan rel kereta api yang digunakan
untuk membawa batubara dari pedalaman ke pelabuhan.
Pembangunan
rel kereta ini membuat penambangan batubara yang ada di wilayah pedalaman
menjadi lebih ekonomis;
• Peningkatan kapasitas pelabuhan di Lampung
dan Sumatera Selatan dibutuhkan untuk meningkatkan pengiriman batubara ke luar
Sumatera.
SDM dan IPTEK
Selain hal tersebut, pengembangan kegiatan ekonomi utama di Sumatera memerlukan
enabler, antara lain:
• Peningkatan kualitas sumber daya manusia
melalui pendidikan dan pelatihan. Kurangnya tenaga kerja terlatih merupakan
salah satu hambatan dalam pertambangan batubara. Pendidikan dan pelatihan perlu
ditingkatkan. Untuk mencapai produksi batubara sebesar 10 juta ton/tahun,
diperlukan sekitar 2.500 pekerja dan 10-15 persen diantaranya merupakan tenaga
manajerial;
• Peningkatan tata kelola usaha agar investasi
di pertambangan batubara menjadi lebih menarik;
d. Besi Baja
Baja
adalah salah satu logam yang memiliki peranan sangat strategis dalam
pembangunan ekonomi. Sebagai negara sedang berkembang yang berusaha keras untuk
menjadi negara maju maka potensi peningkatan kebutuhan baja nasional juga
sangat besar. Di sisi lain, industri baja nasional yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta saat ini masih mempunyai
ketergantungan yang tinggi terhadap pihak luar negeri, baik berupa bahan baku
untuk menunjang produksi industri maupun teknologi.
Ditinjau
dari potensi pasar, baja nasional mempunyai peluang yang besar mengingat
konsumsi baja per kapita Indonesia masih sangat rendah, pada tahun 2005 sebesar
29 kg/kapita dibanding rata-rata konsumsi dunia sebesar 170 kg/kapita.
Kegiatan
ekonomi besi baja yang dibangun oleh 45 kegiatan ekonomi terdiri dari 4 jenis
pertambangan bijih besi, dan 41 jenis manufaktur berbasis besi baja yang
menjadi kegiatan hilirnya. Indonesia sudah
memiliki 4 jenis pertambangan bijih besi, namun belum ada industri pengolah
bijih besi hasil tambang maupun pasir besi menjadi konsentrat bijih besi yang
diperlukan sebagai bahan baku industri besi baja yang lebih hilir. Di sisi
lain, biasanya bijih besi hasil tambang membawa juga mineral lainnya yang
memiliki nilai ekonomis, sehingga ekspor langsung hasil tambang bijih besi (dan
mineral bawaan lainnya) sebenarnya merupakan peluang untuk mendapatkan
pertambahan nilai bagi industri besi baja.
Untuk
melindungi cadangan bahan baku bagi industri hilir besi baja, upaya penerapan
bea keluar atas hasil tambang bijih besi belum bisa dilakukan karena belum
adanya industri pengolahan bijih besi menjadi konsentrat bijih besi di
Indonesia.
Permasalahan
lain dalam penambangan bijih besi adalah pengawasan dalam produksi dan kegiatan
ekspor tidak bisa mengandalkan aparat pemerintah pusat, mengingat pemerintah
daerah juga menerbitkan izin usaha penambangan.
Di
sisi lain, perizinan yang memperkenankan penambangan pada deposit kecil
(maksimum 2 juta ton) berpotensi merusak lingkungan sementara upaya untuk
memulihkan kembali kepada kondisi lingkungan yang baik sangat sulit dilakukan.
Berdasarkan
pohon industri besi baja yang terdiri dari 41 jenis industri perusahaan besi baja
sudah mengisi 27 jenis industri atau 66 persen
dari total jenis manufaktur besi baja, dimana 11 industri merupakan
industri hilir dengan kegiatan aplikasi seperti industri alat rumah tangga,
otomotif, elektronik dan infrastruktur. Namun demikian, pada industri hilir
tersebut, Indonesia masih belum bisa menghasilkan besi/baja berupa heavy
profile-rail, serta stainless
steel
rod dan shaft bar, elektronik dan infrastruktur. Namun demikian, pada industri
hilir tersebut, Indonesia masih belum bisa menghasilkan besi/baja berupa heavy
profile-rail, serta stainless steel rod dan shaft bar.
Jumlah perusahaan industri berbasis besi baja
mengalami kenaikan pada periode yang sama sebesar 2,6 persen, walaupun terlihat
pertumbuhan negatif 1,47 persen pada tahun 2005.
Sebaran deposit bijih besi di Indonesia didapat di
Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Maluku
dan Papua. Sumatera menyimpan 8 persen cadangan bijih besi laterit
Indonesia yang berada di Bengkulu, Sumatera Barat dan Kepulauan Riau.
Pada tahun 2004 permintaan industri baja mulai
mengalami peningkatan yang relatif cukup baik, terutama disebabkan oleh
permintaan sektor lainnya yang mulai tumbuh seperti otomotif, elektronik,
infrastruktur dan sebagainya. Pada tahun 2005, kapasitas produksi baja dalam
negeri (slab, billet, bloom dan ingot) atau crude steel di Indonesia sebesar
6,5 juta ton dengan tingkat utilitas rata-rata sekitar 50 persen.
Rantai nilai industri besi baja masih menarik karena
harga bijih besi sekitar USD 55-60 per ton (biaya operasional USD 25-35) dan
harga jual konsentrat sekitar USD 100-120 per ton (biaya operasional USD 15-25).
Sedangkan untuk produk hasil industri aglomerasi
sekitar USD 180-200 per ton (biaya operasional USD 10-20), industri pembuatan
besi (peleburan) berkisar USD 350-400 per ton (biaya operasional USD 50-110),
dan produksi pembuatan baja (steel making) mencapai harga USD 700 per ton
(biaya operasional USD 80-110).
Penambangan:
Kondisi penambangan dalam negeri akan terus meningkat sejalan dengan
peningkatan permintaan bijih besi dunia. Di sisi lain, industri besi baja hulu
yang belum memiliki manufaktur pemurnian bijih besi menjadi konsentrat bijih
besi, membuat manufaktur hilir tergantung pada bahan baku impor.
Dengan
kata lain, Indonesia kehilangan kesempatan membuka lapangan kerja, dan margin
keuntungan terhadap nilai rantai industri hilir karena tidak adanya industri
pengolahan bijih besi dan pasir besi yang dibutuhkan untuk membangun rantai
produksi industri baja di Indonesia.
Investasi
pada industri besi baja masih menarik walau memerlukan dana yang besar. Saat
ini terindikasi bahwa keuntungan dari hasil penambangan saja tidak maksimal,
karena pendapatan dari industri pengolahan bijih besi lebih akan memberikan
nilai tambah dibandingkan menjual langsung bijih besi.
Peleburan: Industri
peleburan besi baja di Cilegon sudah menggunakan scrap dan atau impor sponge
iron sebagai bahan baku. Namun tetap perlu ditingkatkan produktivitasnya untuk
memenuhi permintaan dalam negeri, disamping karena kapasitas produksinya baru
mencapai 60 persen kapasitas terpasang. Untuk mampu bersaing di pasar dunia
maka akan lebih efektif bila memiliki rantai industri baja yang lengkap. Untuk
itu perlu diupayakan insentif dan disinsentif yang memadai sebagai upaya
melengkapi jenis industri yang diperlukan tersebut. Untuk mendukung pembangunan
industri hulu besi baja, tentunya diperlukan dukungan pengadaan listrik yang
memadai.
Hilir:
Di Koridor Ekonomi Sumatera,
pengembangan industri besi baja terpusat di Cilegon – Provinsi Banten
melalui kemitraan BUMN dan perusahaan asing. Kemitraan usaha ini akan membangun
industri peleburan besi baja dengan kapasitas 3 juta ton per tahun untuk
dijadikan slab yang selanjutnya akan dibeli/digunakan langsung oleh BUMN
tersebut, diekspor maupun dikembangkan menjadi industri hilir lanjutannya.
Dalam
jangka panjang, untuk mencapai konsumsi baja 100 kg/kapita/tahun pada 2025 atau
43 kg/kapita/tahun pada 2015, diperlukan pengembangan industri baja di berbagai
tempat seperti Cilegon dengan kapasitas capaian lebih dari 4,5 juta ton per
tahun, Kalimantan dengan kapasitas 15 juta ton, Lampung dengan kapasitas 5 juta
ton dan sisanya 5 juta ton tersebar di lokasi lainnya di Sulawesi, Sumatera,
Maluku. Khusus di Sumatera, pembangunan kawasan industri dapat dipertimbangkan
di lokasi dekat kaki Jembatan Selat
Sunda (JSS) di Provinsi Lampung.
Mengingat
industri baja terkait dengan industri strategis nasional, maka lokasi industri
besi baja ini perlu tersebar di pulau-pulau (besar) Indonesia. Sehingga terjadi
penyebaran lokasi yang membuat pasokan produksi besi baja bisa terus
berlangsung, apabila dibandingkan bila dipusatkan dan terjadi pemogokan atau
hal yang lebih buruk bisa mengganggu rantai produksi hilirnya yang terkait
dengan industri strategis nasional.
Regulasi
dan Kebijakan Strategi pengembangan kegiatan ekonomi utama besi baja memerlukan
dukungan regulasi dan kebijakan berikut:
- Peningkatan produksi konsentrat bijih besi
nasional melalui kebijakan yang memberi persyaratan pengoperasian tambang bijih
besi dengan membangun manufaktur proses pembuatan konsentrat bijih besi di
dekat lokasi penambangan;
- Peningkatan kapasitas produksi industri besi
baja melalui penyediaan bahan baku, khususnya bijih besi melalui DMO yang
penyelenggaraannya terintegrasi antara perizinan, pemantauan dan pelaporan yang
diterbitkan pemerintah pusat dengan pengaturan di lingkup pemerintah daerah;
- Peningkatan daya saing produk besi baja
nasional melalui pembangunan jenis industri yang belum ada di Indonesia
melengkapi rantai industri besi baja, meningkatkan kapasitas produksinya, serta
membangun kemitraan industri hulu dan hilir nasional;
- Mengembangkan iklim usaha rantai industri
besi baja yang kondusif melalui peningkatan kemitraan, pemberian insentif dan
disinsentif fiskal, penerapan regulasi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN)
besi baja pada produk aplikasi besi baja,
dan fasilitas dukungan produksi dan pemasaran industri baja nasional;
- Kebijakan pengembangan klaster industri hilir
besi baja diupayakan dibangun pada kawasan industri untuk penghematan biaya
operasional dan pemeliharaan infrastruktur pendukung atau mengintegrasikan
industri peleburan baja stainless steel (pabrik slab, Hot Roll Coil (HRC) dan
Cold Roll Coil (CRC)).
Konektivitas
(infrastruktur) Infrastruktur pendukung yang dibutuhkan untuk peningkatan
konektivitas
dalam pengembangan kegiatan ekonomi utama besi baja sebagai berikut:
- Penyediaan infrastruktur pendukung (energi
listrik, jaringan jalan, jalur kereta api, pelabuhan) di kawasan industri besi
baja sesuai pertumbuhan kawasan industri di maksud;
- Meningkatkan infrastruktur pendukung di lokasi
kawasan industri besi baja maupun antar lokus kegiatan terkait (jalan, jalur
kereta api, limbah).
SDM
dan IPTEK Pengembangan kegiatan ekonomi utama besi baja di Sumatera memerlukan
dukungan pengembangan SDM dan IPTEK sebagai berikut:
- Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
untuk mendapatkan tenaga kerja terampil di bidang industri besi baja.
- Pengembangan SDM melalui sekolah maupun
perguruan tinggi untuk menghasilkan tenaga ahli untuk memenuhi kuantitas dan
kualitas yang dibutuhkan industri besi baja.
Menurut
sensus BPS (2010), 57 persen penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa (luasnya
hanya 7 persen dari Nusantara) dan 21 persen lainnya tinggal di Sumatera yang
luasnya sekitar 21 persen dari Nusantara. Dengan demikian kedua pulau ini
mempunyai potensi yang sangat besar untuk ”membangkitkan” pergerakan barang dan
manusia, maupun kegiatan ekonomi lainnya.
2.2 Pembangunan 2011 –
2014 yang Terlaksana di Sumatera
Pembagunan
yang dberjalan di Sumatera tahun 2011 – 2014 adalah sebagai berikut :
Perkembangan pelaksanaan
MP3EI di Koridor
Ekonomi Sumatera untuk
sementara masih difokuskan untuk
penyelesaian berbagai masalah
dan hambatan terkait
pelaksanaan proyek-proyek
sektor
riil, antara lain:
1. KPI Sei Mangkei:
Menunggu proses penerbitan HPL untuk Kawasan
Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei;
Persiapan pelaksanaan groundbreaking Kawasan
Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei;
Penyusunan
kesepakatan terkait Pembangunan
Jalur KA dari
KEK Sei Mangkei
– Sepur Simpang (2,9 Km).
2. KPI Tapanuli Selatan
Evaluasi AMDAL
PT. Agincourt Resources
sudah disetujui Gubernur
Sumut dan sedang disosialisasikan kepada masyarakat.
3. KPI Dairi:
IPPKH untuk PT. Dairi Prima Mineral sudah
selesai;
Memerlukan
revisi Lampiran Permen
ESDM No.7 Tahun
2012 (kadar konsentrat
ekspor minimum untuk timbal dan seng).
4. KPI Dumai:
Permohonan perluasan
kawasan industri PT.
Wilmar ditunda (karena
dapat berimplikasi
terhadap
kawasan industri lainnya).
5. KPI Muara Enim – Pendopo:
Menunggu IPPKH PT. Bukit Asam (untuk areal
seluas 9.881 Ha);
PT.
DH Energy memohonkan
IPPKH, tax holiday,
pengajuan KEK, tapi
ditunda karena harus memenuhi kewajiban (FS, AMDAL, dan
lainnya).
6. KPI Tanjung Api – Api – Tj. Carat:
Menunggu penyelesaian
proses administrasi di
daerah untuk perizinan
kawasan dan
permohonan IPPKH
oleh PT. PUSRI,
PT. Taiba Energy,
PT. Hanuraba Sawit,
dan PT. Agro
Sawit Lestari.
7. KPI Palembang:
Pasokan gas untuk PT. PUSRI sudah selesai,
menunggu groundbreaking;
Kegiatan
Fluidized Chatalitic Cracking Unit di Refinery Unit III Plaju untuk optimasi kilang
PT. Pertamina tidak ada masalah.
Perkembangan pelaksanaan
MP3EI di Koridor
Ekonomi Sumatera untuk
proyek-proyek
infrastruktur,
antara lain:
1. High Grade Highway:
Menunggu proses pembebasan lahan
Membutuhkan dukungan fiskal untuk
meningkatkan FIRR
Pembangunan yang sudah berjalan adalah ruas
jalan tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi, namun
proyek ini masih
terkendala dalam proses
pembebasan lahan. Sementara
untuk pelaksanaan
groundbreaking pembangunan Jembatan
Selat Sunda (JSS)
masih harus menunggu hasil
penyusunan FS (Feasibility Study) serta kejelasan sumber pendanaan.
2. Pelabuhan Hub Internasional Kuala Tanjung:
Lokasi
pelabuhan merupakan lahan
hutan lindung untuk
pengembangan pelabuhan peti kemas di Perupuk;
Penyelesaian RTRW Kabupaten Batu Bara,
Provinsi Sumatera Utara;
Penetapan
Masterplan dan Port
Code Pelabuhan Kuala
Tanjung oleh Kementerian Perhubungan.
3. Bandara Kualanamu:
Rencana operasional Juli 2013;
Pembangunan double track Medan – Kualanamu
27,9 km;
AMDAL dimulai 2013;
Menunggu
proses pembebasan lahan
Surat SP2LP dari
gubernur dan percepatan pembebasan lahan.
4. PLTU Pangkalan Susu 2 x 200 MW:
Pembatalan tender tanggal 25 April 2012
sehingga akan dilakukan tender ulang;
Percepatan penyelesaian loan agreement dan SLA di Kementerian
Keuangan agar bisa cepat dilakukan disbursement.
5. Palapa Ring Sumatera:
Dana
untuk seluruh tahapan proyek sudah tersedia.
6. JSS:
Pelaksanaan Perpres No. 86 Tahun 2011;
Percepatan penyelesaian Perda RTRW terkait;
Koordinasi penyelesaian pembebasan lahan dan
pembiayaan.
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Masterplan for Acceleration and
Expansion of Indonesia’s Economic Development dengan
singkatan MP3EI adalah sebuah pola induk perencanaan ambisius
dari pemerintah Indonesia untuk dapat mempercepat realisasi perluasan
pembangunan ekonomi dan pemerataan kemakmuran agar dapat dinikmati secara
merata di kalangan masyarakat. Secara geostrategis, Sumatera diharapkan menjadi
“Gerbang ekonomi nasional ke Pasar Eropa, Afrika, Asia Selatan, Asia Timur,
serta Australia”.
Secara umum, Koridor Ekonomi
Sumatera berkembang dengan baik di bidang ekonomi dan sosial dengan kegiatan
ekonomi utama seperti perkebunan kelapa sawit, karet serta batubara. Namun
demikian, Koridor Ekonomi Sumatera juga memiliki beberapa hal yang harus
dibenahi, SDM dan IPTEK Selain
kebutuhan perbaikan regulasi dan dukungan infrastruktur, pengembangan kegiatan
ekonomi utama kelapa sawit juga perlu dukungan terkait pengembangan SDM dan
IPTEK
3.2. SARAN
Dengan adanya perencanaan MP3EI
maka pertumbuhan ekonomi setiap kota di Indonesia yang sedang mulai berkembang
bisa terpantau, teranalisis dan terealisasi dengan baik. Kiranya nanti hal ini
juga bisa diterapkan di kota yang ada di di Provinsi Sumatera Utara sehingga
pemerataan ekonomi serta kesenjangan kehidupan dapat dianalisis dan mempunyai
penanggulangan yang layak sehingga tersusun rapi dan indah dalam bentuk
penyelesaian
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar