Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah
sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan balatentara Jepang pada tanggal 29 April 1945
bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito. Badan ini dibentuk sebagai upaya
mendapatkan dukungan dari bangsa Indonesia dengan menjanjikan bahwa Jepang akan membantu proses kemerdekaan Indonesia. BPUPKI beranggotakan 67 orang yang
diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat dengan wakil ketua Ichibangase Yosio (orang Jepang) dan Raden Pandji
Soeroso.
Di luar anggota BPUPKI, dibentuk
sebuah Badan Tata Usaha (semacam sekretariat) yang beranggotakan 60 orang.
Badan Tata Usaha ini dipimpin oleh Raden Pandji
Soeroso dengan wakil Mr. Abdoel
Gafar Pringgodigdo
dan Masuda Toyohiko (orang Jepang). Tugas dari BPUPKI sendiri adalah
mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan aspek-aspek poplitik,
ekonomi, tata pemerintahan, dan hal-hal yang diperlukan dalam usaha pembentukan
negara Indonesia
merdeka.
Pada tanggal 7 Agustus 1945, Jepang membubarkan BPUPKI dan kemudian
membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Inkai,
dengan anggota berjumlah 21 orang, sebagai upaya untuk mencerminkan perwakilan
dari berbagai etnis di wilayah Hindia-Belanda[1], terdiri dari: 12 orang asal Jawa, 3 orang asal Sumatera, 2 orang asal Sulawesi, 1 orang asal Kalimantan, 1 orang asal Sunda Kecil
(Nusa Tenggara),
1 orang asal Maluku, 1 orang asal
etnis Tionghoa.
Sejarah Pembentukan
BPUPKI
Pada
tahun 1944 Saipan jatuh ke tangan Sekutu. Demikian halnya dengan pasukan Jepang
di Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Kepulauan Marshall,
dipukul mundur oleh pasukan Sekutu. Dengan demikian seluruh garis pertahanan
Jepang di Pasifik sudah hancur dan bayang-bayang kekalahan Jepang mulai nampak.
Selanjutnya Jepang mengalami serangan udara di kota Ambon, Makasar, Menado dan
Surabaya. Bahkan pasukan Sekutu telah mendarat di daerah-daerah minyak seperti
Tarakan dan Balikpapan.
Dalam
situasi kritis tersebut, pada tanggal 1 maret 1945 Letnan Jendral Kumakici
Harada, pimpinan pemerintah pendudukan Jepang di Jawa, mengumumkan
pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(Dokuritsu Junbi Cosakai). Pembentukan badan ini bertujuan untuk
menyelidiki hal-hal penting menyangkut pembentukan negara Indonesia merdeka.
Pengangkatan pengurus ini diumumkan pada tanggal 29 April 1945. dr. K.R.T.
Radjiman Wediodiningrat diangkat sebagai ketua (Kaico). Sedangkan
yang duduk sebagai Ketua Muda (Fuku Kaico) pertama dijabat oleh seorang
Jepang, Shucokan Cirebon yang bernama Icibangase. R.P.
Suroso diangkat sebagai Kepala Sekretariat dengan dibantu oleh Toyohito
Masuda dan Mr. A.G. Pringgodigdo.
B.
SIDANG-SIDANG BPUPKI
Pada
tanggal 28 Mei 1945 dilangsungkan upacara peresmian Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan bertempat di gedung Cuo Sangi In,
Jalan Pejambon (sekarang Gedung Departemen Luar Negeri), Jakarta. Upacara
peresmian itu dihadiri pula oleh dua pejabat Jepang, yaitu : Jenderal
Itagaki (Panglima Tentara Ketujuh yang bermarkas di Singapura dan Letnan
Jenderal Nagano (Panglima Tentara Keenambelas yang baru). Pada kesempatan
itu dikibarkan bendera Jepang, Hinomaru oleh Mr. A.G.
Pringgodigdo yang disusul dengan pengibaran bendera Sang Merah Putih oleh Toyohiko
Masuda. Peristiwa itu membangkitkan semangat para anggota dalam usaha
mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.
Sidang
BPUPKI
Persidangan
BPUPKI untuk merumuskan Undang-undang Dasar diawali dengan pembahasan mengenai
persoalan “dasar” bagi Negara Indonesia Merdeka. Untuk itulah pada kata
pembukaannya, ketua BPUPKI, dr. Radjiman Wediodiningrat meminta
pandangan para anggota mengenai dasar Negara Indonesia merdeka tersebut. Tokoh
yang pertama kali mendapatkan kesempatan untuk mengutarakan rumusan Dasar
Negara Indonesia Merdeka adalah Mr. Muh. Yamin. Pada hari pertama
persidangan pertama tanggal 29 Mei 1945, Muh. Yamin mengemukakan lima “Azas
Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia” sebagai berikut :
1.
Peri Kebangsaan;
2.
Peri Kemanusiaan;
3.
Peri Ke-Tuhanan;
4.
Peri Kerakyatan;
5.
Kesejahteraan Rakyat.
Dua
hari kemudian pada tanggal 31 Mei 1945 Prof. Dr. Mr. Supomo mengajukan
Dasar Negara Indonesia Merdeka adalah sebagai berikut :
1.
persatuan
2.
kekeluargaan
3.
keseimbangan
4.
musyawarah
5.
keadilan sosial
Keesokan
harinya pada tanggal 1 Juni 1945 berlangsunglah rapat terakhir dalam
persidangan pertama itu. Pada kesempatan itulah Ir. Sukarno mengemukakan
pidatonya yang kemudian dikenal sebagai “Lahirnya Pancasila”. Keistimewaan
pidato Ir. Sukarno adalah selain berisi pandangan mengenai Dasar Negara
Indonesia Merdeka, juga berisi usulan mengenai nama bagi dasar negara, yaitu : Pancasila,
Trisila, atau Ekasila. “Selanjutnya sidang memilih nama Pancasila
sebagai nama dasar negara. Lima dasar negara yang diusulkan oleh Ir. Sukarno
adalah sebagai berikut :
1.
Kebangsaan Indonesia;
2.
Internasionalisme atau peri-kemanusiaan;
3.
Mufakat atau demokrasi
4.
Kesejahteraan sosial;
5.
Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Persidangan
pertama BPUPKI berakhir pada tanggal 1 Juni 1945. Sidang tersebut belum
menghasilkan keputusan akhir mengenai Dasar Negara Indonesia Merdeka.
Selanjutnya diadakan masa “reses” selama satu bulan lebih.
Pada
tanggal 22 Juni 1945 BPUPKI membentuk Panitia Kecil yang beranggotakan 9 orang.
Oleh karena itu panitia ini juga disebut sebagai Panitia Sembilan.
Anggota-anggota Panitia Sembilan ini adalah sebagai berikut :
1.
Ir. Sukarno
2.
Drs. Moh. Hatta
3.
Muh. Yamin
4.
Mr. Ahmad Subardjo
5.
Mr. A.A. Maramis
6.
Abdulkadir Muzakkir
7.
K.H. Wachid Hasyim
8.
K.H. Agus Salim
9.
Abikusno Tjokrosujoso.
Musyawarah
dari Panitia Sembilan ini kemudian menghasilkan suatu rumusan yang
menggambarkan maksud dan tujuan pembentukan Negara Indonesia Merdeka. Oleh Muh.Yamin
rumusan itu diberi nama Jakarta Charter atau Piagam Jakarta.
Rumusan draft dasar negara Indonesia Merdeka itu adalah :
1.
Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya;
2.
(menurut) dasar kemanusiaan yang adil dan beradab;
3.
Persatuan Indonesia;
4.
(dan) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan;
5.
(serta dengan mewujudkan suatu) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada
tanggal 10 Juli 1945 dibahas Rencana Undang-undang Dasar, termasuk soal
pembukaan atau preambule-nya oleh sebuah Panitia Perancang
Undang-undang Dasar yang diketuai oleh Ir. Sukarno dan beranggotakan
21 orang. Pada tanggal 11 Juli 1945, Panitia Perancang Undang-undang Dasar
dengan suara bulat menyetujui isi preambule (pembukaan) yang diambil
dari Piagam Jakarta.
Selanjutnya
panitia tersebut membentuk Panitia Kecil Perancang Undang-undang Dasar yang
diketuai Prof. Dr. Mr. Supomo dengan anggotanya Mr. Wongsonegoro, Mr.
Ahmad Subardjo, Mr. A.A. Maramis, Mr. R.P. Singgih, H. Agus Salim dan
Sukiman. Hasil perumusan panitia kecil ini kemudian disempurnakan bahasanya
oleh Panitia Penghalus Bahasa yang terdiri dari Husein Djajadiningrat,
Agus Salim dan Supomo.
Persidangan
kedua BPUPKI dilaksanakan pada tanggal 14 Juli 1945 dalam rangka menerima
laporan Panitia Perancang Undang-undang Dasar. Ir. Sukarno selaku ketua panitia
melaporkan tiga hasil, yaitu :
1.
Pernyataan Indonesia Merdeka;
2.
Pembukaan Undang-undang Dasar;
3.
Undang-undang Dasar (batang tubuh
Awal persiapan kemerdekaan oleh BPUPKI
Kekalahan Jepang dalam perang Pasifik semakin jelas, Perdana Menteri Jepang, Jenderal Kuniaki Koiso, pada tanggal 7 September 1944 mengumumkan bahwa Indonesia akan dimerdekakan kelak, sesudah tercapai kemenangan akhir dalam perang Asia Timur Raya. Dengan cara itu, Jepang berharap tentara Sekutu akan disambut oleh rakyat Indonesia sebagai penyerbu negara mereka, sehingga pada tanggal 1 Maret 1945 pimpinan pemerintah pendudukan militer Jepang di Jawa, Jenderal Kumakichi Harada, mengumumkan dibentuknya suatu badan khusus yang bertugas menyelididki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, yang dinamakan "Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia" (BPUPKI) atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Cosakai. Pembentukan BPUPKI juga untuk menyelidiki, mempelajari dan memepersiapakan hal-hal penting lainnya yang terkait dengan masalah tata pemerintahan guna mendirikan suatu negara Indonesia merdeka.BPUPKI resmi dibentuk pada tanggal 29 April 1945, bertepatan dengan ulang tahun kaisar Jepang, Kaisar Hirohito. Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat, dari golongan nasionalis tua, ditunjuk menjadi ketua BPUPKI dengan didampingi oleh dua orang ketua muda (wakil ketua), yaitu Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yosio (orang Jepang). Selain menjadi ketua muda, Raden Pandji Soeroso juga diangkat sebagai kepala kantor tata usaha BPUPKI (semacam sekretariat) dibantu Masuda Toyohiko dan Mr. Abdoel Gafar Pringgodigdo. BPUPKI sendiri beranggotakan 67 orang, yang terdiri dari: 60 orang anggota aktif adalah tokoh utama pergerakan nasional Indonesia dari semua daerah dan aliran, serta 7 orang anggota istimewa adalah perwakilan pemerintah pendudukan militer Jepang, tetapi wakil dari bangsa Jepang ini tidak mempunyai hak suara (keanggotaan mereka adalah pasif, yang artinya mereka hanya hadir dalam sidang BPUPKI sebagai pengamat saja).
Selama BPUPKI berdiri, telah diadakan dua kali masa persidangan resmi BPUPKI, dan juga adanya pertemuan-pertemuan yang tak resmi oleh panitia kecil di bawah BPUPKI, yaitu adalah sebagai berikut :
Sidang resmi pertama
Pada tanggal 28 Mei 1945, diadakan upacara pelantikan dan sekaligus seremonial pembukaan masa persidangan BPUPKI yang pertama di gedung "Chuo Sangi In", yang pada zaman kolonial Belanda gedung tersebut merupakan gedung Volksraad (dari bahasa Belanda, semacam lembaga "Dewan Perwakilan Rakyat Hindia-Belanda" di masa penjajahan Belanda), dan kini gedung itu dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila, yang berlokasi di Jalan Pejambon 6 – Jakarta. Namun masa persidangan resminya sendiri (masa persidangan BPUPKI yang pertama) diadakan selama empat hari dan baru dimulai pada keesokan harinya, yakni pada tanggal 29 Mei 1945, dan berlangsung sampai dengan tanggal 1 Juni 1945, dengan tujuan untuk membahas bentuk negara Indonesia, filsafat negara "Indonesia Merdeka" serta merumuskan dasar negara Indonesia.Upacara pelantikan dan seremonial pembukaan masa persidangan BPUPKI yang pertama ini dihadiri oleh seluruh anggota BPUPKI dan juga dua orang pembesar militer jepang, yaitu: Panglima Tentara Wilayah ke-7, Jenderal Izagaki, yang menguasai Jawa serta Panglima Tentara Wilayah ke-16, Jenderal Yuichiro Nagano. Namun untuk selanjutnya pada masa persidangan resminya itu sendiri, yang berlangsung selama empat hari, hanya dihadiri oleh seluruh anggota BPUPKI.
Sebelumnya agenda sidang diawali dengan membahas pandangan mengenai bentuk negara Indonesia, yakni disepakati berbentuk "Negara Kesatuan Republik Indonesia" ("NKRI"), kemudian agenda sidang dilanjutkan dengan merumuskan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk hal ini, BPUPKI harus merumuskan dasar negara Republik Indonesia terlebih dahulu yang akan menjiwai isi dari Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri, sebab Undang-Undang Dasar adalah merupakan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Guna mendapatkan rumusan dasar negara Republik Indonesia yang benar-benar tepat, maka agenda acara dalam masa persidangan BPUPKI yang pertama ini adalah mendengarkan pidato dari tiga orang tokoh utama pergerakan nasional Indonesia, yang mengajukan pendapatnya tentang dasar negara Republik Indonesia itu adalah sebagai berikut :
1.
Sidang tanggal 29 Mei 1945, Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. berpidato mengemukakan gagasan
mengenai rumusan lima asas dasar negara Republik Indonesia, yaitu: “1. Peri Kebangsaan; 2. Peri Kemanusiaan; 3.
Peri Ketuhanan; 4. Peri Kerakyatan; dan 5. Kesejahteraan Rakyat”.
2.
Sidang tanggal 31 Mei 1945, Prof. Mr. Dr. Soepomo berpidato mengemukakan gagasan mengenai rumusan lima
prinsip dasar negara Republik Indonesia, yang beliau namakan "Dasar Negara Indonesia
Merdeka", yaitu: “1. Persatuan; 2. Kekeluargaan; 3. Mufakat dan
Demokrasi; 4. Musyawarah; dan 5. Keadilan Sosial”.
3.
Sidang tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno berpidato mengemukakan gagasan mengenai rumusan lima sila
dasar negara Republik Indonesia, yang beliau namakan "Pancasila", yaitu: “1. Kebangsaan Indonesia; 2. Internasionalisme
dan Peri Kemanusiaan; 3. Mufakat atau Demokrasi; 4. Kesejahteraan Sosial; dan
5. Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Gagasan
mengenai rumusan lima sila dasar negara Republik Indonesia yang dikemukakan oleh Ir. Soekarno tersebut kemudian dikenal dengan
istilah "Pancasila", masih
menurut beliau bilamana diperlukan gagasan mengenai rumusan Pancasila ini dapat diperas menjadi "Trisila" (Tiga Sila), yaitu: “1. Sosionasionalisme;
2. Sosiodemokrasi; dan 3. Ketuhanan Yang Berkebudayaan”. Bahkan masih
menurut Ir. Soekarno lagi, Trisila tersebut bila hendak diperas kembali dinamakannya sebagai
"Ekasila" (Satu Sila), yaitu merupakan sila: “Gotong-Royong”,
ini adalah merupakan upaya dari Bung Karno dalam menjelaskan bahwa konsep gagasan
mengenai rumusan dasar negara Republik Indonesia yang dibawakannya tersebut adalah
berada dalam kerangka "satu-kesatuan", yang tak terpisahkan
satu dengan lainnya. Masa persidangan BPUPKI yang pertama ini dikenang dengan
sebutan detik-detik lahirnya Pancasila dan tanggal 1 Juni ditetapkan dan diperingati sebagai
hari lahirnya Pancasila.Pidato dari Ir. Soekarno ini sekaligus mengakhiri masa persidangan BPUPKI yang pertama, setelah itu BPUPKI mengalami masa reses persidangan (periode jeda atau istirahat) selama satu bulan lebih. Sebelum dimulainya masa reses persidangan, dibentuklah suatu panitia kecil yang beranggotakan 9 orang, yang dinamakan "Panitia Sembilan" dengan diketuai oleh Ir. Soekarno, yang bertugas untuk mengolah usul dari konsep para anggota BPUPKI mengenai dasar negara Republik Indonesia.
Masa antara sidang resmi pertama dan sidang resmi kedua
Naskah Asli "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter" yang dihasilkan oleh "Panitia Sembilan"
pada tanggal 22 Juni 1945
Sampai
akhir dari masa persidangan BPUPKI yang pertama, masih belum ditemukan titik
temu kesepakatan dalam perumusan dasar negara Republik Indonesia yang benar-benar tepat, sehingga
dibentuklah "Panitia Sembilan" tersebut di atas guna menggodok
berbagai masukan dari konsep-konsep sebelumnya yang telah dikemukakan oleh para
anggota BPUPKI itu. Adapun susunan keanggotaan dari "Panitia Sembilan"
ini adalah sebagai berikut :Sesudah melakukan perundingan yang cukup sulit antara 4 orang dari kaum kebangsaan (pihak "Nasionalis") dan 4 orang dari kaum keagamaan (pihak "Islam"), maka pada tanggal 22 Juni 1945 "Panitia Sembilan" kembali bertemu dan menghasilkan rumusan dasar negara Republik Indonesia yang kemudian dikenal sebagai "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter", yang pada waktu itu disebut-sebut juga sebagai sebuah "Gentlement Agreement". Setelah itu sebagai ketua "Panitia Sembilan", Ir. Soekarno melaporkan hasil kerja panitia kecil yang dipimpinnya kepada anggota BPUPKI berupa dokumen rancangan asas dan tujuan "Indonesia Merdeka" yang disebut dengan "Piagam Jakarta" itu. Menurut dokumen tersebut, dasar negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut :
2.
Kemanusiaan yang adil dan beradab,
4.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan,
Rancangan
itu diterima untuk selanjutnya dimatangkan dalam masa persidangan BPUPKI yang
kedua, yang diselenggarakan mulai tanggal 10 Juli 1945.Di antara dua masa persidangan resmi BPUPKI itu, berlangsung pula persidangan tak resmi yang dihadiri 38 orang anggota BPUPKI. Persidangan tak resmi ini dipimpin sendiri oleh Bung Karno yang membahas mengenai rancangan "Pembukaan (bahasa Belanda: "Preambule") Undang-Undang Dasar 1945", yang kemudian dilanjutkan pembahasannya pada masa persidangan BPUPKI yang kedua (10 Juli-17 Juli 1945).
Sidang resmi kedua
Masa persidangan BPUPKI yang kedua berlangsung sejak tanggal 10 Juli 1945 hingga tanggal 14 Juli 1945. Agenda sidang BPUPKI kali ini membahas tentang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kewarganegaraan Indonesia, rancangan Undang-Undang Dasar, ekonomi dan keuangan, pembelaan negara, serta pendidikan dan pengajaran. Pada persidangan BPUPKI yang kedua ini, anggota BPUPKI dibagi-bagi dalam panitia-panitia kecil. Panitia-panitia kecil yang terbentuk itu antara lain adalah: Panitia Perancang Undang-Undang Dasar (diketuai oleh Ir. Soekarno), Panitia Pembelaan Tanah Air (diketuai oleh Raden Abikusno Tjokrosoejoso), dan Panitia Ekonomi dan Keuangan (diketuai oleh Drs. Mohammad Hatta).Pada tanggal 11 Juli 1945, sidang panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang diketuai oleh Ir. Soekarno, membahas pembentukan lagi panitia kecil di bawahnya, yang tugasnya adalah khusus merancang isi dari Undang-Undang Dasar, yang beranggotakan 7 orang yaitu sebagai berikut :
Pada tanggal 13 Juli 1945, sidang panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang diketuai oleh Ir. Soekarno, membahas hasil kerja panitia kecil di bawahnya, yang tugasnya adalah khusus merancang isi dari Undang-Undang Dasar, yang beranggotakan 7 orang tersebut.
Pada tanggal 14 Juli 1945, sidang pleno BPUPKI menerima laporan panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang dibacakan oleh ketua panitianya sendiri, Ir. Soekarno. Dalam laporan tersebut membahas mengenai rancangan Undang-Undang Dasar yang di dalamnya tercantum tiga masalah pokok yaitu :
3.
Batang tubuh Undang-Undang Dasar yang kemudian dinamakan sebagai "Undang-Undang Dasar 1945", yang isinya
meliputi :
·
Wilayah negara Indonesia adalah sama dengan bekas wilayah Hindia-Belanda dahulu, ditambah dengan Malaya, Borneo Utara (sekarang adalah wilayah Sabah dan wilayah Serawak di negara Malaysia, serta wilayah negara Brunei Darussalam), Papua, Timor-Portugis (sekarang adalah wilayah negara Timor Leste), dan pulau-pulau di sekitarnya,
Konsep
proklamasi kemerdekaan negara Indonesia baru rencananya akan disusun dengan
mengambil tiga alenia pertama "Piagam Jakarta", sedangkan konsep Undang-Undang Dasar hampir seluruhnya
diambil dari alinea keempat "Piagam Jakarta". Sementara itu, perdebatan terus
berlanjut di antara peserta sidang BPUPKI mengenai penerapan aturan Islam, Syariat Islam, dalam negara Indonesia baru. "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter" pada akhirnya disetujui
dengan urutan dan redaksional yang sedikit berbeda.Persiapan kemerdekaan dilanjutkan oleh PPKI
Pada tanggal 7 Agustus 1945, BPUPKI dibubarkan karena dianggap telah dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik, yaitu menyusun rancangan Undang-Undang Dasar bagi negara Indonesia Merdeka, dan digantikan dengan dibentuknya "Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia" ("PPKI") atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Inkai dengan Ir. Soekarno sebagai ketuanya.Tugas "PPKI" ini yang pertama adalah meresmikan pembukaan (bahasa Belanda: preambule) serta batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Tugasnya yang kedua adalah melanjutkan hasil kerja BPUPKI, mempersiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak pemerintah pendudukan militer Jepang kepada bangsa Indonesia, dan mempersiapkan segala sesuatu yang menyangkut masalah ketatanegaraan bagi negara Indonesia baru.
Anggota "PPKI" sendiri terdiri dari 21 orang tokoh utama pergerakan nasional Indonesia, sebagai upaya untuk mencerminkan perwakilan dari berbagai etnis di wilayah Hindia-Belanda, terdiri dari: 12 orang asal Jawa, 3 orang asal Sumatera, 2 orang asal Sulawesi, 1 orang asal Kalimantan, 1 orang asal Sunda Kecil (Nusa Tenggara), 1 orang asal Maluku, 1 orang asal etnis Tionghoa. "PPKI" ini diketuai oleh Ir. Soekarno, dan sebagai wakilnya adalah Drs. Mohammad Hatta, sedangkan sebagai penasihatnya ditunjuk Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo. Kemudian, anggota "PPKI" ditambah lagi sebanyak enam orang, yaitu: Wiranatakoesoema, Ki Hadjar Dewantara, Mr. Kasman Singodimedjo, Mohamad Ibnu Sayuti Melik, Iwa Koesoemasoemantri, dan Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo.
Secara simbolik "PPKI" dilantik oleh Jendral Terauchi, pada tanggal 9 Agustus 1945, dengan mendatangkan Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta dan Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat ke "Kota Ho Chi Minh" atau dalam bahasa Vietnam: Thành phố Hồ Chí Minh (dahulu bernama: Saigon), adalah kota terbesar di negara Vietnam dan terletak dekat delta Sungai Mekong.
Pada saat "PPKI" terbentuk, keinginan rakyat Indonesia untuk merdeka semakin memuncak. Memuncaknya keinginan itu terbukti dengan adanya tekad yang bulat dari semua golongan untuk segera memproklamasikan kemerdekaan negara Indonesia. Golongan muda kala itu menghendaki agar kemerdekaan diproklamasikan tanpa kerjasama dengan pihak pemerintah pendudukan militer Jepang sama sekali, termasuk proklamasi kemerdekaan dalam sidang "PPKI". Pada saat itu ada anggapan dari golongan muda bahwa "PPKI" ini adalah hanya merupakan sebuah badan bentukan pihak pemerintah pendudukan militer Jepang. Di lain pihak "PPKI" adalah sebuah badan yang ada waktu itu guna mempersiapkan hal-hal yang perlu bagi terbentuknya suatu negara Indonesia baru.
Tetapi cepat atau lambatnya kemerdekaan Indonesia bisa diberikan oleh pemerintah pendudukan militer Jepang adalah tergantung kepada sejauh mana semua hasil kerja dari "PPKI". Jendral Terauchi kemudian akhirnya menyampaikan keputusan pemerintah pendudukan militer Jepang bahwa kemerdekaan Indonesia akan diberikan pada tanggal 24 Agustus 1945. Seluruh persiapan pelaksanaan kemerdekaan Indonesia diserahkan sepenuhnya kepada "PPKI". Dalam suasana mendapat tekanan atau beban berat seperti demikian itulah "PPKI" harus bekerja keras guna meyakinkan dan mewujud-nyatakan keinginan atau cita-cita luhur seluruh rakyat Indonesia, yang sangat haus dan rindu akan sebuah kehidupan kebangsaan yang bebas, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Ir. Soekarno membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang sudah diketik oleh Mohamad Ibnu Sayuti Melik dan telah ditandatangani oleh Soekarno-Hatta
Sementara
itu dalam sidang "PPKI" pada tanggal 18 Agustus 1945, dalam hitungan kurang dari 15 menit telah terjadi
kesepakatan dan kompromi atas lobi-lobi politik dari pihak kaum keagamaan yang beragama
non-Muslim serta pihak kaum keagamaan yang menganut ajaran kebatinan,
yang kemudian diikuti oleh pihak kaum kebangsaan (pihak "Nasionalis") guna melunakkan hati pihak
tokoh-tokoh kaum keagamaan yang beragama Islam guna dihapuskannya "tujuh
kata" dalam "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter".
PERBEDAAN DAN PERSAMAAN ANTARA PEMBUKAAN UUD 45 DENGAN
PIAGAM JAKARTA
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
PEMBUKAAN
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak
segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan. Karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan
pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia
dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur.
Atas berkat rahmat
Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.
Kemudian daripada
itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia
dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Piagam Jakarta
Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Atas berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada: ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewudjudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Jakarta, 22 Juni 1945
-Ir. Soekarno -Abikusno Tjokrosujoso -Achmad Subardjo
-Mohammad Hatta -Abdulkahar Muzakir -Wachid Hasjim
-A.A. Maramis -H.A. Salim -Muhammad Yamin
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Atas berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada: ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewudjudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Jakarta, 22 Juni 1945
-Ir. Soekarno -Abikusno Tjokrosujoso -Achmad Subardjo
-Mohammad Hatta -Abdulkahar Muzakir -Wachid Hasjim
-A.A. Maramis -H.A. Salim -Muhammad Yamin
baguss
BalasHapusmantappp lengkap banget..untuk pustaka
BalasHapusgak bagus
BalasHapusKatanya komplitt tapi kok di artikelnya ga dikasih tau tukang somaynya pak radjiman blum kalo pak radjiman ngutang somay blom di bayar
BalasHapusMakasih ya
BalasHapus